KabarMakasaar.com — Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan terhadap dolar AS pada perdagangan Kamis (18/07) kemarin, ditutup melemah sebesar 55 poin atau 0,34 persen ke level Rp16.155 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.100.
Pelemahan ini terjadi di tengah penguatan indeks dolar AS yang dipicu oleh pernyataan pejabat bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed), mengenai potensi pemangkasan suku bunga.
Gubernur The Fed Christopher Waller dan Presiden The Fed New York John Williams sama-sama mencatat semakin pendeknya cakrawala menuju kebijakan moneter yang lebih longgar.
Waller menyoroti hal ini dalam pidatonya di Kansas City Fed, sementara Williams menegaskan hal yang sama dalam sebuah wawancara. Presiden The Fed Richmond Thomas Barkin juga menyatakan kegembiraannya atas meluasnya penurunan inflasi.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa The Fed melihat adanya peningkatan keyakinan terhadap tren disinflasi yang telah dimulai sejak tahun lalu, meskipun sempat terjadi lonjakan inflasi yang bersifat sementara sebelumnya.
Dengan demikian, pasar semakin yakin bahwa The Fed akan memangkas suku bunga acuannya pada September mendatang.
Berdasarkan perangkat Fedwatch, pasar menilai ada peluang besar bahwa bank sentral AS akan mulai memangkas suku bunga pada pertemuan mendatang, dengan probabilitas mencapai 91,7 persen untuk penurunan pertama sebesar 25 basis poin menjadi 5,00%-5,25%.
Pemangkasan tersebut diperkirakan akan berlanjut pada dua pertemuan berikutnya, masing-masing 25 basis poin pada pertemuan November dan Desember, sehingga pada akhir tahun suku bunga The Fed berada di kisaran target 4,50%-4,75% dengan total penurunan tiga kali dalam setahun.
Selain tekanan dari kebijakan The Fed, rupiah juga terpengaruh oleh ketegangan perdagangan global yang kembali memanas.
Ancaman pembatasan AS terhadap China meningkatkan kekhawatiran atas potensi perang dagang baru. Baru-baru ini, calon presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump, menyinggung belanja pertahanan AS di Taiwan, yang semakin memicu sentimen negatif di pasar regional.
Langkah ini dilihat sebagai upaya pemerintahan Biden untuk membatasi akses China terhadap kemajuan dalam kecerdasan buatan dan teknologi industri, khususnya pembuatan chip.
Jika langkah ini diimplementasikan, Beijing diperkirakan akan memberikan respon keras, yang bisa memicu perang dagang baru antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Hal ini tentu akan berdampak negatif terhadap mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah, karena ketidakpastian ekonomi global yang meningkat.
Dari sisi domestik, Bank Indonesia (BI) memberikan proyeksi positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun ini berada dalam kisaran 4,7-5,5 persen, didorong oleh kinerja perekonomian domestik yang solid.
Konsumsi rumah tangga dan investasi terus mendukung pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II-2024. Ekspor barang juga mengalami peningkatan, terutama ekspor produk manufaktur dan pertambangan, seperti logam dan bijih logam serta besi baja, ke negara mitra dagang utama seperti India dan China.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III dan IV juga diperkirakan tetap kuat, didorong oleh rencana peningkatan stimulus fiskal dari 2,3 persen menjadi 2,7 persen dari PDB serta kenaikan permintaan ekspor dari mitra dagang utama. BI menyatakan akan terus memperkuat sinergi antara stimulus fiskal oleh pemerintah dengan stimulus makroprudensial oleh BI.
Namun demikian, tantangan masih ada. Menurut BI, meski ada proyeksi positif terhadap pertumbuhan ekonomi, ketidakpastian global yang tinggi tetap menjadi faktor risiko utama yang perlu diwaspadai. Selain itu, fluktuasi harga komoditas global juga dapat mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia.
Berdasarkan data di atas, nilai tukar rupiah untuk perdagangan berikutnya diprediksi akan bergerak fluktuatif. Tekanan eksternal dari kebijakan The Fed dan ketegangan perdagangan AS-China, serta tantangan domestik dalam menjaga stabilitas ekonomi, membuat rupiah diprediksi kembali ditutup melemah dalam rentang Rp16.140-Rp16.200 per dolar AS. Hal ini mencerminkan ketidakpastian yang terus membayangi pasar keuangan global dan domestik.
Di tengah situasi ini, pelaku pasar dan investor perlu terus memantau perkembangan kebijakan moneter The Fed dan dinamika hubungan perdagangan internasional. Sementara itu, upaya pemerintah dan BI dalam menjaga stabilitas ekonomi domestik serta meningkatkan daya saing ekspor perlu terus dioptimalkan untuk menghadapi tantangan global yang ada.