KabarMakassar.com — Pasar surat utang negara (SBN) sedang mengalami tekanan jual yang signifikan, dipicu oleh sentimen global dan kenaikan bunga Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Tekanan ini membuat SBN kurang menarik bagi para investor.
Hasil lelang sukuk negara (SBSN) yang dilakukan kemarin mencerminkan sentimen tersebut. Para investor cenderung meningkatkan penawaran untuk beberapa seri SBSN tertentu, namun enggan untuk melirik seri sukuk negara yang lain.
Menurut catatan dari Mega Capital Sekuritas yang disusun oleh Fixed Income and Market Strategist Lionel Prayadi dan Analyst Nanda Rahmawati, permintaan SBSN secara keseluruhan memang meningkat, namun terdapat pergeseran yang tidak merata.
Hal ini disebabkan oleh keputusan Bank Indonesia yang menaikkan tingkat diskonto SRBI. Pada lelang Jumat pekan lalu, tingkat diskonto SRBI-12M naik 19,23 basis poin menjadi 7,53%, dibandingkan lelang sebelumnya pada 12 Juni yang berada di 7,33%.
Dalam lelang tersebut, permintaan yang masuk naik 10% mencapai Rp17,99 triliun, tetapi pemerintah hanya menjual Rp7,18 triliun, di bawah target indikatif Rp11 triliun.
Kenaikan bunga diskonto SRBI oleh Bank Indonesia, yang dilakukan untuk mengurangi tekanan pada rupiah, mendorong investor untuk meningkatkan penawaran pada seri SBSN dengan tenor panjang, seperti PBS038. Pada lelang kemarin, penawaran untuk seri ini naik 117,57% menjadi Rp5,32 triliun, mengakibatkan penawaran untuk seri lainnya menjadi lebih kecil.
Sebagai contoh, penawaran untuk seri PBSG001 turun lebih dari 60% dibandingkan lelang sebelumnya, menjadi hanya Rp1,3 triliun. Tawaran untuk PBS032 juga turun 24,08% menjadi Rp4,17 triliun, dan tawaran untuk PBS004 turun 15,05% menjadi Rp360 miliar. Penawaran untuk PBS030 juga turun 11,45% menjadi Rp1,15 triliun.
Kementerian Keuangan memutuskan untuk tidak menerbitkan PBS030 sekaligus menaikkan imbal hasil lelang untuk seri lainnya. Yield yang dimenangkan untuk PBS032 naik 5,8 basis poin menjadi 7,00%, sedangkan untuk PBSG001 naik 4,3 basis poin menjadi 6,83%. Yield lelang PBS004 tidak berubah di 6,99% karena permintaan yang sepi.
Menurut para analis, tekanan jual di pasar sekunder SBN kemarin meningkat, terutama didorong oleh aksi jual di pasar emerging market pada malam sebelumnya. Imbal hasil FR0100 dan FR0102 masing-masing naik 4 dan 3 basis poin menjadi 7,10% dan 7,12%.
Para analis memperkirakan tekanan jual di pasar SBN kemungkinan besar akan terus berlanjut jika Bank Indonesia terus menaikkan tingkat diskonto SRBI. Dengan kondisi tersebut, imbal hasil SUN dalam lelang pekan depan pada 9 Juli diprediksi akan meningkat.
Bank Indonesia akan menggelar lelang rutin SRBI hari ini, Rabu, dan pada Jumat nanti. Sejauh ini, Bank Indonesia telah menerbitkan SRBI senilai US$49 miliar atau sekitar Rp805 triliun sejak pertama kali diluncurkan Agustus tahun lalu. Instrumen tenor pendek ini digunakan untuk ‘menampung’ dana jangka pendek, termasuk hot money (dana asing jangka pendek).
Jika SRBI jatuh tempo pada bulan-bulan mendatang, rupiah berisiko melemah karena dana asing dari SRBI keluar, kecuali Bank Indonesia semakin agresif menerbitkan SRBI lagi sebagai refinancing.
Distorsi Kurva Imbal Hasil
Menurut catatan Bahana Sekuritas, agresivitas Bank Indonesia dalam menggunakan SRBI sebagai alat utama untuk menarik dana asing masuk demi menyokong rupiah melalui tawaran yield yang tinggi telah mendistorsi kurva imbal hasil obligasi pemerintah dan pasar uang. Satria Sambijantoro, Head of Research Bahana Sekuritas, menyebutkan bahwa langkah ini menguras likuiditas rupiah dari pasar saham, surat utang, dan deposito perbankan.
Masalahnya, eksperimen Bank Indonesia ini tidak selalu efektif dalam menarik dana segar dari pemodal global. Yang terlihat justru pergeseran dana asing dari SBN ke SRBI. Indikasinya, kepemilikan asing di SRBI naik sekitar Rp77 triliun pada Mei, yang kemungkinan besar berasal dari peralihan dana asing dari SBN yang turun Rp52,7 triliun dari Januari hingga April tahun ini. Dengan kata lain, Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan sebenarnya ‘berebut’ dana yang sama.
Analis menilai bahwa ada risiko pembentukan kurva imbal hasil ganda, yaitu SRBI dan JIBOR, dapat menyebabkan kebijakan moneter tidak efektif dalam jangka panjang. Menurut pandangan mereka, suku bunga SRBI secara bertahap dapat menjadi suku bunga kebijakan de facto. Misalnya, transmisi moneter dari kenaikan BI-rate pada bulan Oktober dan April relatif lambat, namun bank-bank komersial menaikkan suku bunga deposito ketika suku bunga SRBI melonjak pada bulan Mei.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mengakui bahwa pemerintah tidak agresif dalam menerbitkan SBN karena tingginya biaya bunga di pasar saat ini. Hingga akhir Mei lalu, pembiayaan anggaran melalui penarikan utang baru mencapai Rp132,2 triliun, turun 12,2% dibandingkan Mei 2023. Pembiayaan utang terutama bersumber dari penjualan SBN sebesar Rp141,6 triliun, turun 2% year-on-year dan setara 21,3% terhadap APBN.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa penambahan utang melalui emisi SBN yang tidak agresif adalah karena kewaspadaan terhadap tren sektor keuangan global yang bergejolak dengan kecenderungan tingkat bunga tinggi dalam waktu lama. Pemerintah berhati-hati agar tidak terekspos terhadap lingkungan dan tren sektor keuangan global yang cenderung tinggi dalam jangka waktu lama dan tekanan terhadap rupiah.
Kondisi Pasar SRBI dan SBN
Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) mengalami peningkatan popularitas di pasar, bahkan melampaui Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah. Hal ini disebabkan oleh imbal hasil yang ditawarkan SRBI lebih tinggi dari SBN, bahkan mencapai 7%. Menurut laporan Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Juni 2024 dari Bank Dunia, sebagai instrumen yang memberikan imbal hasil lebih tinggi, SRBI tampaknya membatasi pinjaman pemerintah.
Bank Dunia mencatat bahwa bank-bank komersial mengurangi kepemilikan mereka pada surat berharga pemerintah dan beralih ke surat berharga baru dari Bank Indonesia. Terbukti, antara bulan September 2023 dan Februari 2024, kepemilikan bank umum atas obligasi pemerintah menurun dari 30,4% menjadi 25,6% dari total saldo beredar.
Sebagai akibatnya, Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar sekunder dengan membeli surat berharga pemerintah, sehingga meningkatkan kepemilikannya dari 16,2% menjadi 20,7%.
Bank Dunia melihat bahwa untuk mencegah crowding out lebih lanjut, Bank Indonesia berupaya mengurangi volume penerbitan SRBI sementara waktu, memotongnya hingga setengahnya dari Rp49,4 triliun menjadi Rp25,6 triliun antara bulan Februari dan Maret 2024.
Risiko lainnya termasuk mengusir investor ekuitas asing yang menghadapi risiko kredit lebih tinggi namun relatif kurang menarik. Pada kuartal I-2024, investor non-residen atau asing memiliki sekitar 22% dari total SRBI yang beredar, sementara sisanya sebagian besar dimiliki oleh bank-bank komersial dalam negeri.
Seiring dengan pengetatan kondisi moneter global, investor asing mulai menjual kepemilikan SRBI mereka, menyebabkan pangsa kepemilikan asing di SRBI turun menjadi 18% pada akhir April 2024.
Menurut data transaksi 24-27 Juni 2024, Bank Indonesia mencatat jumlah beli neto asing mencapai Rp8,30 triliun di pasar SBN, sementara beli neto asing di SRBI mencapai Rp9,16 triliun.
Selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen hingga 27 Juni 2024, nonresiden tercatat jual neto Rp36,46 triliun di pasar SBN, jual neto Rp9,78 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp123,21 triliun di SRBI.