KabarMakassar.com — Bank Indonesia (BI) melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berlangsung pada 19-20 Juni 2024 telah memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI-Rate di level 6,25%. Selain itu, suku bunga Deposit Facility tetap di 5,50% dan suku bunga Lending Facility di 7,00%.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam keterangan tertulisnya menegaskan bahwa keputusan ini diambil sebagai bagian dari kebijakan moneter yang pro-stability dan forward-looking. Langkah ini bertujuan untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran target 2,5±1% pada tahun 2024 dan 2025.
“Kebijakan ini didukung oleh penguatan operasi moneter untuk meningkatkan efektivitas stabilisasi nilai tukar Rupiah,” kata Perry melalu keterangan tertulisnya yang dikutip, Minggu (23/06).
Lebih lanjut, Perry menyebut, penguatan operasi moneter ini meliputi berbagai strategi seperti memperkuat struktur suku bunga di pasar uang Rupiah untuk menjaga daya tarik imbal hasil dan meningkatkan aliran masuk portofolio asing ke aset keuangan domestik guna mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah.
Selain itu, Bank Indonesia juga mengoptimalkan penggunaan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).
Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah dan Aliran Modal Asing
Kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada April lalu telah berhasil membantu menguatkan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS). Pada bulan Mei, aliran modal masuk ke Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) mencapai Rp80,29 triliun, sedangkan pada bulan Juni tercatat sebesar Rp17,83 triliun.
“Kenaikan suku bunga ini berhasil mengembalikan nilai tukar Rupiah ke level fundamentalnya di Rp15.900 per Dolar AS,” jelas Perry.
Namun, ia juga mencatat bahwa nilai tukar Rupiah sempat fluktuatif karena beberapa faktor, termasuk meningkatnya pembayaran dividen dalam bentuk valuta asing oleh korporasi.
Kebijakan Makroprudensial dan Sistem Pembayaran
Di samping kebijakan moneter, Bank Indonesia juga terus memperkuat kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran yang pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Kebijakan makroprudensial longgar diterapkan untuk mendorong kredit dan pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga.
Bank Indonesia menyempurnakan kebijakan kontrasiklikal Rasio Pendanaan Luar Negeri Bank (RPLN) yang akan diberlakukan mulai 1 Agustus 2024 mendatang.
Pengaturan baru ini mencakup definisi dan cakupan pendanaan luar negeri untuk perhitungan batas maksimum pendanaan luar negeri jangka pendek bank (threshold RPLN) sebesar 30%, dengan parameter kontrasiklikal 0% atau ± 5% yang ditetapkan berdasarkan asesmen forward looking atas siklus keuangan, risiko eksternal, dan risiko stabilitas sistem keuangan.
Selain itu, kebijakan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) juga diperkuat dengan fokus pada suku bunga kredit berdasarkan sektor ekonomi. Kebijakan tarif Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan Kartu Kredit (KK) diperpanjang hingga 31 Desember 2024. Tarif SKNBI ditetapkan sebesar Rp1 dari BI ke bank dan maksimal Rp2.900 dari bank kepada nasabah. Kebijakan kartu kredit meliputi batas minimum pembayaran sebesar 5% dari total tagihan dan nilai denda keterlambatan maksimal 1% dari total tagihan atau tidak lebih dari Rp100.000.
Penguatan Kerja Sama Internasional dan Domestik
Bank Indonesia juga aktif memperkuat kerja sama internasional dalam bidang kebanksentralan, termasuk yang terkait dengan konektivitas sistem pembayaran dan transaksi menggunakan mata uang lokal. Hal ini bertujuan untuk memfasilitasi promosi investasi dan perdagangan di sektor-sektor prioritas, serta mendukung sektor pariwisata melalui kolaborasi dengan instansi terkait.
Di dalam negeri, Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah pusat dan daerah. Salah satu inisiatif yang menonjol adalah Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) yang dilaksanakan di berbagai daerah dalam kerangka Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID). Program ini bertujuan untuk menjaga stabilitas harga pangan dan mengendalikan inflasi di tingkat daerah.
Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal juga diperkuat untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan momentum pertumbuhan ekonomi. Sinergi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tetap dijaga untuk memastikan stabilitas sistem keuangan dan mendorong penyaluran kredit dan pembiayaan kepada dunia usaha.
“Bank Indonesia terus memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah untuk memitigasi dampak risiko dari ketidakpastian global yang masih tinggi,” tambah Perry.
Dengan berbagai kebijakan ini, Bank Indonesia berupaya menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan di tengah tantangan global yang kompleks. Kebijakan moneter yang konsisten, penguatan operasi moneter, serta sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal diharapkan dapat menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia menuju masa depan yang lebih stabil dan berkelanjutan.