KabarMakassar.com — Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Kawal Pemilu 2024 Sulawesi Selatan juga ikut menanggapi soal Pemungutan Suara Ulang (PSU) pasca pemilihan langsung, Rabu (14/2).
Samsang Syamsir perwakilan OMS mengaku kaget terkait PSU yang direkomendasikan oleh Bawaslu sebanyak 55 TPS yang tersebar di 19 Kabupaten/kota di Sulsel.
“PSU 55 TPS itu sangat banyak. Saya hanya bisa bilang PSU indikator kuat terjadinya kecurangan. Semakin banyak PSU semakin banyak terjadi kecurangan,” tegas Samsang Syamsir kepada kabarmakassar.com, Senin (19/2).
Ketua Forum Informasi dan Komunikasi Organisasi Non Pemerintah (FIK Ornop) itu menjelaskan bahwa konsekuensi PSU, bukan hanya pada biaya yang bertambah, tetapi juga kita akan kehilangan banyak energi dan waktu yang berharga.
Di sisi, lain, benar kalau dilakukan PSU potensi money politik akan lebih besar lagi. Untuk itu, pengawasan partisipatif harus lebih ditingkatkan lagi
Di sisi lain, lanjut Samsang, bahwa kita bisa mengatakan bahwa pengawasan berjalan dengan ditemukannya sejumlah pelanggaran dan pelanggaran tersebut bukan pelanggaran yang main-main kalau sampai melahirkan rekomendasi PSU.
“Namun kita tidak bisa juga berbangga dengan pencapaian tersebut. Karena tugas pengawasan malah akan jadi panjang dengan PSU. Dan bahkan kita harus bersiap untuk mengeluarkan energi besar sebab potensi kecurangan bosa lebih besar terutama untuk politik uang,” jelasnya.
“Jadi itu yang saya katakan tadi bahwa potensi kecurangan di PSU bisa lebih besar terutama politik uang dan vote buying (politik uang atau politik transaksional),” tandas Samsang Syamsir.
Sebelumnya, OMS Kawal Pemilu 2024 juga telah membeberkan beberapa kecurangan hingga pencoblosan di 24 kabupaten/kota di Sulsel terjadi, saat menggelar Konferensi Pers di kantor LBH Makassar, Jalan Nikel, Jumat (16/2) lalu.
Aktivis OMS Kawal Pemilu 2024 Sulsel, Muh Chaidir juga mengatakan, temuan pelanggaran itu salah satunya seperti adanya oknum KPPS yang mengarahkan pemilih untuk memilih pasangan Capres dan Cawapres tertentu.
“Itu salah satu temuan kami di lapangan ya, tidak ada juga transparansi soal jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) di tiap TPS sebelum dilakukan penghitungan suara,” bebernya.